ITIHASA
ANALISIS CERITA MAHABHARATA
SABHAPARVA
DISUSUN OLEH:
KETUT SARPE ADI
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA JAKARTA
2016/2017
Om Swastyastu,
Atas asung kerta
wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi yang telah memberikan rahmatnya, sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berupa sebuah analis dari
sebuah cerita Mahabharata yakni cerita kedua (sabhaparva) dari 18 parva, dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam memahami cerita ini dengan hubungan tiga kerangka dasar agama hindu,
yakni etika, susila maupun ritual.
Harapan saya semoga
karya tulis ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi dari tulisan ini sehingga
kedepanya dapat lebih baik lagi.
Makalah ini saya
akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang.Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tulisan ini.
Jakarta, Januari 2017
Mahabharata
merupakan salah epos besar India yang telah termasyur di seluruh dunia.
Mahabharata merupakan kisah agung yang terdiri dari delapan belas parva. Mahabharata berasal dari kata maha yang
berarti ‘besar’ dan kata bharata yang berarti ‘bangsa Bharata’. Pujangga Panini
menyebut Mahabharata sebagai “Kisah Pertempuran Besar Bangsa Bharata”.
Dalam anggapan tradisional, Bhagawan Wyasa sebagai pengarang-penyair epos
Mahabharata, dikatakan juga menyusun kitab-kitab suci Weda, Wedanta, dan
Purana, kira-kira pada 300 tahun sebelum Masehi sampai abad keempat Masehi.
Dengan jarak waktu seperti itu, maka sulit dipercaya bahwa Bhagawan Wyasa
adalah pengarang-penyair Mahabharata dan juga penyusun-pencipta kitab-kitab
suci. Dalam kitab-kitab suci Purana dikenal adanya wyasa yang berjumlah 28
orang. Kata wyasa artinya ‘penyusun’ atau ‘pengatur’. Dalam hubungan arti ini
maka mungkin penyusun-pencipta atau pengarang-penyair pada jaman dahulu disebut
Bhagawan Wyasa. Terlebih jika hasil ciptaannya merupakan monumen atau mahakarya
dari jamannya, maka wajarlah para pengarang-pencipta itu mendapat pujian dan
dihormati jika tidak boleh dikatakan “didewa-dewakan”. Lagi pula, tidak jarang
dijumpai, suatu ciptaan atau karya besar dari jaman dahulu itu tanpa nama atau
tidak diketahui pengarang-penciptanya. Situasi semacam ini kiranya menambah
kuat kesimpulan yang menyatakan bahwa karya-karya itu adalah ciptaan seorang
wyasa, atau dengan sebutan penghormatan: Bhagawan Wyasa.
Interpretasi ini dikuatkan oleh pendapat seorang sarjana kebudayaan kuna
yang mengatakan, “Mahabharata bukan hanya suatu buku, melainkan karya
kesusastraan yang luas cakupannya dan disusun dalam jangka waktu yang sangat
lama.”1 Pendapat M. Winternitz itu didasarkan pada kisah-kisah dalam epos
Mahabharata yang melukiskan kejadian, peristiwa, masalah dan berbagai
keterangan tentang keadaan masyarakat dan pemerintahan yang terdapat dalam
kitabkitab suci Weda, Wedanta, dan Purana.
Meskipun demikian, para ahli kebudayaan kuna dari Barat maupun Timur,
baik yang bersepakat dengan pendapat tradisional maupun pendapat modern, semua
setuju bahwa pengarang-penyair atau penyusun epos Mahabharata adalah Wyasa,
atau secara lengkap disebut Krishna Dwaipayana Wyasa.
Wyasa adalah anak Resi Parasara dengan Satyawati, buah dari hubungan
yang tidak sah. Wyasa dibesarkan di dalam lingkungan keagamaan dan kesusastraan
dengan bimbingan ayahnya. Satyawati, gadis nelayan yang ayu
itu, diceritakan menjadi gadis perawan lagi berkat restu suci Resi
Parasara, suaminya. Raja Santanu bertemu dengan Satyawati di tepi hutan.
Sang Raja jatuh cinta kepadanya dan mengangkat Satyawati menjadi
permaisurinya. Santanu adalah kakek Dritarastra dan Pandu, dan moyang Kaurawa
dan Pandawa. Sebagai putra Satyawati, boleh dikatakan Wyasa adalah kakek tiri dan
berkerabat dekat dengan Kaurawa dan Pandawa yang menjadi pelaku utama dalam
perang dahsyat di padang Kurukshetra.
Jika kita cermati garis keturunan Wyasa, kita akan tahu bahwa wajar jika
Wyasa dapat melukiskan peristiwa dalam Mahabharata dengan sangat jelas dan
mengharukan. Teristimewa pula, Wyasa dapat dikatakan selalu “terlibat” dalam
peperangan besar itu, setidak-tidaknya dari segi moral dan spiritual.
Di bawah ini disajikan ringkasan dari
delapan belas buku (parwa) epos Mahabharata:
1. Adiparwa
(Buku Pengantar): memuat asal-usul dan sejarah keturunan keluarga Kaurawa dan
Pandawa; kelahiran, watak, dan sifat Dritarastra dan Pandu, juga anak-anak
mereka; timbulnya permusuhan dan pertentangan di antara dua saudara sepupu,
yaitu Kaurawa dan Pandawa; dan berhasilnya Pandawa memenangkan Dewi Draupadi,
putri kerajaan Panchala, dalam suatu sayembara.
2. Sabhaparwa
(Buku Persidangan): melukiskan persidangan antara kedua putra mahkota Kaurawa
dan Pandawa; kalahnya Yudhistira dalam permainan dadu, dan pembuangan Pandawa
ke hutan.
3. Wanaparwa
(Buku Pengembaraan di Hutan): menceritakan kehidupan Pandawa dalam pengembaraan
di hutan Kamyaka. Buku ini buku terpanjang; antara lain memuat episode kisah
Nala dan Damayanti dan pokokpokok cerita Ramayana.
4. Wirataparwa
(Buku Pandawa di Negeri Wirata): mengisahkan kehidupan Pandawa dalam penyamaran
selama setahun di Negeri Wirata, yaitu pada tahun ketiga belas masa pembuangan
mereka.
5. Udyogaparwa
(Buku Usaha dan Persiapan): memuat usaha dan persiapan Kaurawa dan Pandawa
untuk menghadapi perang besar di padang Kurukshetra.
6. Bhismaparwa
(Buku Mahasenapati Bhisma): menggambarkan bagaimana balatentara Kaurawa di
bawah pimpinan Mahasenapati Bhisma bertempur melawan musuh-musuh mereka.
7. Dronaparwa
(Buku Mahasenapati Drona): menceritakan berbagai pertempuran, strategi dan
taktik yang digunakan oleh balatentara Kaurawa di bawah pimpinan Mahasenapati
Drona untuk melawan balatentara Pandawa.
8. Karnaparwa
(Buku Mahasenapati Karna): menceritakan peperangan di medan Kurukshetra ketika
Karna menjadi mahasenapati balatentara Kaurawa sampai gugurnya Karna di tangan
Arjuna.
9. Salyaparwa
(Buku Mahasenapati Salya): menceritakan bagaimana Salya sebagai mahasenapati
balatentara Kaurawa yang terakhir memimpin pertempuran dan bagaimana Duryodhana
terluka berat diserang musuhnya dan kemudian gugur.
10. Sauptikaparwa
(Buku Penyerbuan di Waktu Malam): menggambarkan penyerbuan dan pembakaran
perkemahan Pandawa di malam hari oleh tiga kesatria Kaurawa.
11. Striparwa
(Buku Janda): menceritakan tentang banyaknya janda dari kedua belah pihak yang
bersama dengan Dewi Gandhari, permaisuri Raja Dritarastra, berdukacita karena
kematian suami-suami mereka di medan perang.
12. Shantiparwa
(Buku Kedamaian Jiwa): berisi ajaranajaran Bhisma kepada Yudhistira mengenai
moral dan tugas kewajiban seorang raja dengan maksud untuk memberi ketenangan
jiwa kepada kesatria itu dalam menghadapi kemusnahan bangsanya.
13. Anusasanaparwa
(Buku Ajaran): berisi lanjutan ajaran dan nasihat Bhisma kepada Yudhistira dan
berpulangnya Bhisma ke surgaloka.
14. Aswamedhikaparwa
(Buku Aswamedha): menggambarkan jalannya upacara Aswamedha dan bagaimana
Yudhistira dianugerahi gelar Maharaja Diraja.
15. Asramaparwa
(Buku Pertapaan): menampilkan kisah semadi Raja Dritarastra, Dewi Gandhari dan
Dewi Kunti di hutan dan kebakaran hutan yang memusnahkan ketiga orang itu.
16. Mausalaparwa
(Buku Senjata Gada): menggambarkan kembalinya Balarama dan Krishna ke alam
baka, tenggelamnya Negeri Dwaraka ke dasar samudera, dan musnahnya bangsa
Yadawa karena mereka saling membunuh dengan senjata gada ajaib.
17. Mahaprashthanikaparwa
(Buku Perjalanan Suci): menceritakan bagaimana Yudhistira meninggalkan takhta
kerajaan dan menyerahkan singgasananya kepada Parikeshit, cucu Arjuna, dan
bagaimana Pandawa melakukan perjalanan suci ke puncak Himalaya untuk menghadap
Batara Indra.
18. Swargarohanaparwa
(Buku Naik ke Surga): menceritakan bagaimana Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula,
Sahadewa dan Draupadi sampai di pintu gerbang surga, dan bagaimana ujian serta
cobaan terakhir harus dihadapi Yudhistira sebelum ia memasuki surga.
Dilihat dari segi kesusastraan, epos Mahabharata memiliki sifat-sifat
dramatis. Tokoh-tokohnya seolah-olah nyata karena perwatakan mereka digambarkan
dengan sangat hidup, konflik antara aksi dan reaksi yang berkelanjutan akhirnya
selalu mencapai penyelesaian dalam bentuk kebajikan yang harmonis. Nafsu
melawan nafsu merupakan kritik terhadap hidup, kebiasaan, tatacara dan citacita
yang berubah-ubah. Dasar-dasar moral, kewajiban dan kebenaran disampaikan
secara tegas dan jelas dalam buku ini. Menurut Mahatma Gandhi, konflik abadi
yang ada dalam jiwa kita diuraikan dan dicontohkan dengan sangat jelas dan
membuat kita berpikir bahwa semua tindakan yang dilukiskan di dalam Mahabharata
seolaholah benar-benar dilakukan oleh manusia.
Pentingnya epos Mahabharata dapat kita ketahui dari peranan yang telah
dimainkannya dalam kehidupan manusia. Lima belas abad lamanya Mahabharata
memainkan peranannya dan dalam bentuknya yang sekarang epos ini menyediakan
kata-kata mutiara untuk persembahyangan dan meditasi; untuk drama dan hiburan;
untuk sumber inspirasi penciptaan lukisan dan nyanyian, menyediakan imajinasi
puitis untuk petuah-petuah dan impian-impian, dan menyajikan suatu pola
kehidupan bagi manusia yang mendiami negeri-negeri yang terbentang dari Lembah
Kashmir sampai Pulau Bali di negeri tropis.
Dalam kepercayaan Hindu, epos Mahabharata juga dikenal sebagai Weda yang
kelima (pertama = Regweda, kedua = Samaweda, ketiga = Yayurweda, dan keempat =
Atharwaweda), terutama karena memuat Bhagavadgita yang dipandang sebagai kitab
suci oleh penganut agama Hindu. Ajaran-ajaran Bhisma kepada Pandawa yang
termuat dalam Santiparwa dan Anusasanaparwa juga dianggap kitab suci.
Epos Mahabharata telah meletakkan doktrin dharma yang menyatakan bahwa
kebenaran bukan hanya milik satu golongan dan bahwa ada banyak jalan serta cara
untuk melihat atau mencapai kebenaran karena adanya toleransi. Epos Mahabharata
mengajarkan bahwa kesejahteraan sosial harus ditujukan bagi seluruh dunia dan
setiap orang harus berjuang untuk mewujudkannya tanpa mendahulukan kepentingan
pribadi. Itulah dharma yang diungkapkan epos Mahabharata sebagai sumber
kekayaan rohani atau dharmasastra.
1.2.1. Apa yang terjadi dalam cerita
sabhaparva Mahabharata?
1.2.2. Ajaran apa saja yang terkandung dalam
cerita sabhaparva Mahabharata?
1.3.1. Memahami cerita Sabhaparva
Mahabharata!
1.3.2. Memaknai ajaran yang terkandung dalam
cerita sabhaparva Mahabharata!
Kitab
Sabhaparwa merupakan kitab kedua dari seri Astadasaparwa. Kitab Sabhaparwa
menceritakan kisah para Korawa yang mencari akal untuk melenyapkan para
Pandawa. Atas siasat licik Sangkuni, Duryodana mengajak para Pandawa main dadu.
Taruhannya adalah harta, istana, kerajaan, prajurit, sampai diri mereka
sendiri. Dalam permainan yang telah disetel dengan sedemikian rupa tersebut,
para Pandawa kalah. Dalam kisah tersebut juga diceritakan bahwa Dropadi ingin
ditelanjangi oleh Dursasana karena menolak untuk menyerahkan pakaiannya. Atas
bantuan Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan. Pandawa yang sudah kalah
wajib untuk menyerahkan segala hartanya, namun berkat pengampunan dari Dretarastra,
para Pandawa mendapatkan kebebasannya kembali. Tetapi karena siasat Duryodana
yang licik, perjudian dilakukan sekali lagi. Kali ini taruhannya adalah siapa
yang kalah harus keluar dari kerajaannya dan mengasingkan diri ke hutan selama
12 tahun. Pada tahun yang ke-13, yang kalah harus hidup dalam penyamaran selama
1 tahun. Pada tahun yang ke-14, yang kalah berhak kembali ke kerajaannya. Dalam
pertandingan tersebut, para Pandawa kalah sehingga terpaksa mereka harus
meinggalkan kerajaannya.
Semenjak pulang
dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk
mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali
mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara
mendapatkannya. Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun
dicegah oleh Sangkuni.
Sangkuni berkata,
“Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu
dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan.
Untuk itu, undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu
atas nama anda. Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku.
Dengan demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan”.
Duryodana tersenyum
lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan niat
tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga
menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin
mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat
hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa
pertimbangan Widura.
Dretarastra
menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura
untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak
para Pandawa, menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya
beserta istri dan pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya
di Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka
beristirahat di sana selama satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian.
Yudistira berkata,
“Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang
bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama
lawan”. Setelah mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, “Maaf paduka
Prabu. Saya kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab
kalian masih bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana
tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan
paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk
itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?”
Yudistira yang
senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun
dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab
dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam,
sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.
Mula-mula Yudistira
mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi,
namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai
sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira
mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia
mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap
ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan,
Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya
senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun
mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.
Harta, istana,
kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana.
Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya
sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana.
Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi.
Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi
Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua
membisu karena hak ada pada Yudistira.
Duryodana mengutus
Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana yang
licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya
untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat
peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah
gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi
yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa
kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik
sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.
Dengan menangis
terisak-isak, Dropadi berkata, “Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina
kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak
orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila
tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti
Dursasana?”, ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para
orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena
tersinggung dan malu.
Wikarna, salah satu
Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, “Tuan-Tuan
sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang
menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya.
Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu
muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan
Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan
Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!”
Para hadirin yang
mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan
Wikarna. Karna berkata, “Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan
ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak
lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa
kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang
nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau
melihat wanita bersuami sampai lima orang?”
Mendengar perkataan
Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh
adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya
Dropadi yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai
Dropadi. Dropadi berdo’a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna
mendengar do’a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna
mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak
mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan
usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna
disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat
upacara Rajasuya di Indraprastha.
Melihat perbuatan
Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan
merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah
lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra
mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera
mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi.
Dretarastra
berkata, “O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang
menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu
yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha”. Setelah
mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri.
Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta
Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena
Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali
lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar
memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya
adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan
setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus
menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke
istana.
Sebagai kaum
ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya
tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka
Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa
pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah
masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh
kerajaannya.
Banyak
uraian dalam sabhaparva yang mencerminkan bahwa nilai moral dari tokoh yang
bernama dusasana itu, tidak memiliki moral yang tidak baik. Dalam kitab
sarasamusccaya dijelaskan mengenai susila dalam sloka yang berbunyi “Tasmad
wakkayacittaistu nacaredachubam narah chubhachubham hyacarati tasyanute phalam” yang
artinya : “ oleh karena itu inilah yang harus diusahakan orang. Jangan biarkan
kata-kata, laksana dan pikiran berbuat karma yang tidak baik sebab orang yang
mengusahakan yang baik, baik yang diperolehnya. Jika jahat yang dilakukan,
celaka yang diperolehnya. Seperti halnya yang dilakukan oleh para kaurawa saat
perjudian, mempermalukan dewi drupadi secara kejam. Akan tetapi hasilnya akan
ma mereka terima sesuai perbuatan mereka sendiri. Etika dan moral manusia
seharusnya sesuai dengan ajaran agama dan sastra agama.
Disamping
itu menurut kitab Manawa Dharmasastra dikatakan dalam sloka bahwa “suksmabhyo
pi prasangebhyah striyo raksya visesatah, dvayor hi kulayoh sokam avaheyur
araksitah” artinya: wanita terutama harus dilindungi dari
kecenderungan berbuat jahat, bagaimana sedih tampaknya, jika mereka tidak
dijaga akan membawa penderitaan kepada kedua belah pihak keluarga. Hal inilah
yang dialami panca pandawa, yang mempertaruhkan harta benda dan istrinya,
sehingga seorang wanita itu dianggap menderita karena tidak mampu dilindungi
oleh suaminya. Sudah sangat jelas bahwa seorang suami yang baik menurut manawa
dharmasastra yakni seorang suami yang mampu melindungi istri dan menjaga
martabat keluarganya secara utuh. Pada dasarnya perjudian merupakan hal yang
bisa menyesatkan seseorang hingga berpengaruh pada istri beserta
keluarga. Apapun yang bersifat material tidak akan pernah kekal atau abadi,
dapat pula menyebabkan penderitaan. Dalam manawa dharmasastra disebutkan
melalui sloka mengenai hal perjudian “dyutam samahvayam caiva raja,
rastrannivarayet, rajyanta karana vetau dvau dosau prtihvi ksitam.” Artinya
perjudian dan bertaruh supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah
pemerintahannya; kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra
mahkota. Menurut sloka tersebut benar adanya, ketika antara pandawa dan kaurawa
berjudi, itulah sumber kehancuran seluruh wangsa barata. Pada dasarnya kita
sebagai manusia memiliki sebuah pemahaman yang mendalam mengenai etika,moral
serta ajaran sastra sehingga hal yang negatif tidak terjadi. Belajarlah
darisastra dan sebisa mungkin mengaplikasikannya secara benar.
Didalam
RgVeda X.34.13 dijelaskan melalui sloka “jaya tapyate kitavasya hina, mata
purasya caratah kva svit. Mava bibhyad dhanam icchamanah anyesam astam upa
naktameti” artinya : isteri seorang penjudi yang mengemabara mengalami
penderitaan yang mendalam didalam kemelaratan dan ibu seorang putra yang
berjudi semacam itu tetap dirundung derita. Dia yang dalam lilitan hutang dan
dalam kekurangan uang, memasuki rumah orang-orang lainnya diam-diam dimalam
hari. Analogi dari bunyi sloka tersebut adalah para pandava yang hingga
mempertaruhkan istrinya, membuat semua kluarga dan istrinya mengalami penderitaan.
2.3.2. Nilai Keadilan dan Kepemimpinan
Pandawa,
yang hanya memiliki kerajaan indraprasta tidak sebanding dengan apa yang
dimiliki oleh para kaurawa,yakni kerajaan hastina pura ini mencerminkan
ketidakadilan memperlakukan para pandawa. Kecurangan para kaurawa juga
tercermin dalam bermain dadu, sehingga pandava telah ahbis mempertaruhkan
segalanya. Dalam keadaan seperti ini drtarastra tidak mampu menghentikan dan
mengambil tindakan, karena beliau tidak mampu menentang keinginan putranya
yakni Duryodhana. Sebagai raja yang arif bijaksana, seharusnya mengambil
cara-cara kepemimpinan menurut nitisastra. Seperti yang dicantumkan dalam reg
Veda II. 6.2 yakni pemimpin adalah tempat kediaman keberanian dan
kebijaksanaan. Itulah hakikatnmya pemimpin yang baik, serta bisa mengambil
jalan tengah bagi kedua belah pihak yang mengalami permasalahan.
2.3.3. Nilai Ketuhanan
Nilai
Ketuhanan yang dapat saya paparkan dari parva yang kedua ini, yakni ketika
kita mampu berpikir yang baik, berbuat yang baik, berbicara yang baik maka kita
akan merasa dekat dengan ajaran dharma. Pandava ibarat manusia yang selalu
menjalankan swadarmanya sebagai kstrya, dan mampu meredam amarah dalam ruang
sabha (tempat perjudian). Mereka yang berjalan diatas garis darma akan mendapat
perlindungan dari Tuhan. Dalam hal ini Tuhan yang selalu mendampingi pandawa
adalah dalam wujud Sri Krsna. Begitu pula, draupadi yang setia memuja Tuhan,
sehingga dia mendaptkan anugrah dari Tuhan, ketika pakaian draupadi dilucuti
oleh Dussasana. Ini berarti apabila kita berserah diri dan memuja tuhan secara
tulus dan iklas niscaya tuhan akan memberikan jalan saat kita menemui suatu
masalah. Sebaliknya tokoh duryodhana yang terkesan serakah dan kejam, tidak
akan pernah merasakan kebahagian dalam hidupnya, dia akan selalu dirundung
kegelisahan. Sri Krsna merupakan Tuhan yang berada pada keadaan Saguna Brahman
dalam wujud sebagai Avatara turun kedunia untuk menghancurkan segala bentuk
adarma atau kejahatan didunia ini. Dalam sabhaparva ditekankan bahwa yang
menonjol makna teologisnya adalah ketika draupadi mendapat anugrah dari Tuhan,
sehingga ia bisa terselamatkan dari penghinaan para Kaurawa. Dapat disimpulkan
bahwa siapapun yang mengamalkan darma,siapapun yang mengamalkan ilmu pengahuan
yang luhur maka manusia akan mencapai Tuhan.
Dari
uraian dalam sabhaparva diatas saya dapat mengkaji dari segi makna filosofisnya
yakni ketika setiap orang tidak dapat mengendalikan sad ripu yang ada dalam
dirinya, maka kekacauan terjadi dan menuju pada penderitaan panca pandava yang
memmluk darma selalu dilindungi oleh Sri Krsna sebagai wujud Tuhan. Dalam hal
ini Tuhan berwujud sebagai Avatara, selalu mengayomi, menjaga serta berpihak
pada orang yang berlandaskan atas darma karena dengan darma kita mampu
mendekatkan diri pada Tuhan dan akhirnyha mencapai pada Beliau. Kembali pada
sad ripu, meskipun panca Pandava dipihak yang baik tetapi mereka adalah sosok
manusia yang belum sepenuhnya bisa ,mengendalikan sad ripu sebab mereka
menyetujui perjudian meskipun selalu kalah hingga mempertaruhkan Draupadi.
Kajian filosofis yang dapat saya kemukakan yakni Draupadi sebenarnya
nerupakan perwujudan ibu pertiwi yang tidak boleh direndahkan dan dilecehkan
oleh siapapun. Ketika dussasana melucuti pakaian Draupadi itu adalah bentuk
penghinaan terbesar kepada ibu pertiwi. Draupadi yang dilindungi oleh darma
tidak akan pernah kalah oleh adarma. Bentuk ajaran Rwa Bhineda pun sangat
menonjol pada cerita ini, dimana baik dan buruk selalu berdampingan dalam
kehidupan umat manusia.
Yudhisthira
yang bijaksana merupakan cerminan bagi seorang pemimpin yang arif san
bijaksana, mampu mengambil keputusan yang tepat dan adil sesuai dengan ajaran
kepemimpinan dalam Veda yang disebut Nitisastra. Dalam kehidupan ini,
mencerminkan bahwa semua telah diatur oleh Tuhan, kita sebagai manusia hanya
mampu menjalani kehidupan ini, seperti halnya ajaran buddha bahwa kehidupan ini
sesungguhnya adalah penderitaan. Iri dan dengki yang dimiliki oleh duryodhana
akan membawa ia pada awidya atau kegelepan dalam hidupnya, pandava yang sangat
menjunjung tinggi darma akan selalu disinari oleh kebaikan. Dan sang ibu
pertiwi bagi pandava adalah dewi kunti dan dewi draupadi yang harus mereka
hormati, bukan mempermalukannya seperti yang dilakukan oleh dusasana, adik
doryodhana.
Berdasarkan
pembahasan yang telah dipapakarkan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut.
1.
Kajian filosofisnya yakni Draupadi sebenarnya merupakan perwujudan
ibu pertiwi yang tidak boleh direndahkan dan dilecehkan oleh siapapun. Ketika
dussasana melucuti pakaian Draupadi itu adalah bentuk penghinaan terbesar
kepada ibu pertiwi. Draupadi yang dilindungi oleh darma tidak akan pernah kalah
oleh adarma.
2.
Dalam sabhaparva ditekankan bahwa nilai yang terkandung
yakni nilai ketuhanan. Nilai moral atau etika, keadilan dan pencerminan
sifat-sifat atau karakter baik buruk seseorang. Sabhaparva terdiri dari dua
kata yakni sabha dan parva, sabha merupakan ruang sidang , jadi dalam sabha
parva ini ditekankan mengenai cerita tentang diruang perjudian sang pandava dan
kaurawa yang bermain dadu.
1.
Berdasarkan simpulan di
atas penulis berharap segenap orang yang membaca makalah yang sederhana ini
dapat mengkritisi materi-materi yang tersaji. Penulis menyarankan pembaca mampu
membaca referensi-referensi terkait permasalahan yang tersaji dalam makalah
ini. Jika memang tulisan dalam makalah ini salah atau menyimpang dari koridor
keilmuan yang berlaku, penulis sangat mengharapkan adanya masukan yang bersifat
kontruktif.
Rachel.2011.”Pendahuluan”.https://anothermahabharata.wordpress.com/2011/04/25/pendahuluan/.Di
akses pada tanggal 10 Januari 2017
Arifn, Ilham.2015.”Cerita Kedua Mahabharata Sabhaparwa
Beserta Ringkasannya”.http://iel-ham99.blogspot.co.id/2015/03/cerita-kedua-mahabharata-sabhaparwa.html.Di
akses pada tanggal 10 Januari 2017
Agus Ariadi, I Gede.2013.”Susastra Hindu
Sabhaparva”.http://penamay.blogspot.co.id/2013/03/susastra-hindusabha-parva.html.Di
akses pada tanggal 10 Januari 2017
S. Pendit, Nyoman.2003.Mahabharata.Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar