Kamis, 26 Januari 2017

ITIHSA - Analisis Cerita Mahabharata - Sabhaparva

ITIHASA
ANALISIS CERITA MAHABHARATA
SABHAPARVA




DISUSUN OLEH:
KETUT SARPE ADI

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA JAKARTA
2016/2017




Om Swastyastu,
Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi yang telah memberikan rahmatnya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berupa sebuah analis dari sebuah cerita Mahabharata yakni cerita kedua (sabhaparva) dari 18 parva, dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami cerita ini dengan hubungan tiga kerangka dasar agama hindu, yakni etika, susila maupun ritual.
Harapan saya semoga karya tulis ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi dari tulisan ini sehingga kedepanya dapat lebih baik lagi.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang.Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tulisan ini.


                                                                                                Jakarta, Januari 2017








Mahabharata merupakan salah epos besar India yang telah termasyur di seluruh dunia. Mahabharata merupakan kisah agung yang terdiri dari delapan belas parva. Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti ‘besar’ dan kata bharata yang berarti ‘bangsa Bharata’. Pujangga Panini menyebut Mahabharata sebagai “Kisah Pertempuran Besar Bangsa Bharata”.
Dalam anggapan tradisional, Bhagawan Wyasa sebagai pengarang-penyair epos Mahabharata, dikatakan juga menyusun kitab-kitab suci Weda, Wedanta, dan Purana, kira-kira pada 300 tahun sebelum Masehi sampai abad keempat Masehi. Dengan jarak waktu seperti itu, maka sulit dipercaya bahwa Bhagawan Wyasa adalah pengarang-penyair Mahabharata dan juga penyusun-pencipta kitab-kitab suci. Dalam kitab-kitab suci Purana dikenal adanya wyasa yang berjumlah 28 orang. Kata wyasa artinya ‘penyusun’ atau ‘pengatur’. Dalam hubungan arti ini maka mungkin penyusun-pencipta atau pengarang-penyair pada jaman dahulu disebut Bhagawan Wyasa. Terlebih jika hasil ciptaannya merupakan monumen atau mahakarya dari jamannya, maka wajarlah para pengarang-pencipta itu mendapat pujian dan dihormati jika tidak boleh dikatakan “didewa-dewakan”. Lagi pula, tidak jarang dijumpai, suatu ciptaan atau karya besar dari jaman dahulu itu tanpa nama atau tidak diketahui pengarang-penciptanya. Situasi semacam ini kiranya menambah kuat kesimpulan yang menyatakan bahwa karya-karya itu adalah ciptaan seorang wyasa, atau dengan sebutan penghormatan: Bhagawan Wyasa.
Interpretasi ini dikuatkan oleh pendapat seorang sarjana kebudayaan kuna yang mengatakan, “Mahabharata bukan hanya suatu buku, melainkan karya kesusastraan yang luas cakupannya dan disusun dalam jangka waktu yang sangat lama.”1 Pendapat M. Winternitz itu didasarkan pada kisah-kisah dalam epos Mahabharata yang melukiskan kejadian, peristiwa, masalah dan berbagai keterangan tentang keadaan masyarakat dan pemerintahan yang terdapat dalam kitabkitab suci Weda, Wedanta, dan Purana.
Meskipun demikian, para ahli kebudayaan kuna dari Barat maupun Timur, baik yang bersepakat dengan pendapat tradisional maupun pendapat modern, semua setuju bahwa pengarang-penyair atau penyusun epos Mahabharata adalah Wyasa, atau secara lengkap disebut Krishna Dwaipayana Wyasa.
Wyasa adalah anak Resi Parasara dengan Satyawati, buah dari hubungan yang tidak sah. Wyasa dibesarkan di dalam lingkungan keagamaan dan kesusastraan dengan bimbingan ayahnya. Satyawati, gadis nelayan yang ayu itu, diceritakan menjadi gadis perawan lagi berkat restu suci Resi Parasara, suaminya. Raja Santanu bertemu dengan Satyawati di tepi hutan.
Sang Raja jatuh cinta kepadanya dan mengangkat Satyawati menjadi permaisurinya. Santanu adalah kakek Dritarastra dan Pandu, dan moyang Kaurawa dan Pandawa. Sebagai putra Satyawati, boleh dikatakan Wyasa adalah kakek tiri dan berkerabat dekat dengan Kaurawa dan Pandawa yang menjadi pelaku utama dalam perang dahsyat di padang Kurukshetra.
Jika kita cermati garis keturunan Wyasa, kita akan tahu bahwa wajar jika Wyasa dapat melukiskan peristiwa dalam Mahabharata dengan sangat jelas dan mengharukan. Teristimewa pula, Wyasa dapat dikatakan selalu “terlibat” dalam peperangan besar itu, setidak-tidaknya dari segi moral dan spiritual.
 Di bawah ini disajikan ringkasan dari delapan belas buku (parwa) epos Mahabharata:
1.      Adiparwa (Buku Pengantar): memuat asal-usul dan sejarah keturunan keluarga Kaurawa dan Pandawa; kelahiran, watak, dan sifat Dritarastra dan Pandu, juga anak-anak mereka; timbulnya permusuhan dan pertentangan di antara dua saudara sepupu, yaitu Kaurawa dan Pandawa; dan berhasilnya Pandawa memenangkan Dewi Draupadi, putri kerajaan Panchala, dalam suatu sayembara.
2.      Sabhaparwa (Buku Persidangan): melukiskan persidangan antara kedua putra mahkota Kaurawa dan Pandawa; kalahnya Yudhistira dalam permainan dadu, dan pembuangan Pandawa ke hutan.
3.      Wanaparwa (Buku Pengembaraan di Hutan): menceritakan kehidupan Pandawa dalam pengembaraan di hutan Kamyaka. Buku ini buku terpanjang; antara lain memuat episode kisah Nala dan Damayanti dan pokokpokok cerita Ramayana.
4.      Wirataparwa (Buku Pandawa di Negeri Wirata): mengisahkan kehidupan Pandawa dalam penyamaran selama setahun di Negeri Wirata, yaitu pada tahun ketiga belas masa pembuangan mereka.
5.      Udyogaparwa (Buku Usaha dan Persiapan): memuat usaha dan persiapan Kaurawa dan Pandawa untuk menghadapi perang besar di padang Kurukshetra.
6.      Bhismaparwa (Buku Mahasenapati Bhisma): menggambarkan bagaimana balatentara Kaurawa di bawah pimpinan Mahasenapati Bhisma bertempur melawan musuh-musuh mereka.
7.      Dronaparwa (Buku Mahasenapati Drona): menceritakan berbagai pertempuran, strategi dan taktik yang digunakan oleh balatentara Kaurawa di bawah pimpinan Mahasenapati Drona untuk melawan balatentara Pandawa.
8.      Karnaparwa (Buku Mahasenapati Karna): menceritakan peperangan di medan Kurukshetra ketika Karna menjadi mahasenapati balatentara Kaurawa sampai gugurnya Karna di tangan Arjuna.
9.      Salyaparwa (Buku Mahasenapati Salya): menceritakan bagaimana Salya sebagai mahasenapati balatentara Kaurawa yang terakhir memimpin pertempuran dan bagaimana Duryodhana terluka berat diserang musuhnya dan kemudian gugur.
10.  Sauptikaparwa (Buku Penyerbuan di Waktu Malam): menggambarkan penyerbuan dan pembakaran perkemahan Pandawa di malam hari oleh tiga kesatria Kaurawa.
11.  Striparwa (Buku Janda): menceritakan tentang banyaknya janda dari kedua belah pihak yang bersama dengan Dewi Gandhari, permaisuri Raja Dritarastra, berdukacita karena kematian suami-suami mereka di medan perang.
12.  Shantiparwa (Buku Kedamaian Jiwa): berisi ajaranajaran Bhisma kepada Yudhistira mengenai moral dan tugas kewajiban seorang raja dengan maksud untuk memberi ketenangan jiwa kepada kesatria itu dalam menghadapi kemusnahan bangsanya.
13.  Anusasanaparwa (Buku Ajaran): berisi lanjutan ajaran dan nasihat Bhisma kepada Yudhistira dan berpulangnya Bhisma ke surgaloka.
14.  Aswamedhikaparwa (Buku Aswamedha): menggambarkan jalannya upacara Aswamedha dan bagaimana Yudhistira dianugerahi gelar Maharaja Diraja.
15.  Asramaparwa (Buku Pertapaan): menampilkan kisah semadi Raja Dritarastra, Dewi Gandhari dan Dewi Kunti di hutan dan kebakaran hutan yang memusnahkan ketiga orang itu.
16.  Mausalaparwa (Buku Senjata Gada): menggambarkan kembalinya Balarama dan Krishna ke alam baka, tenggelamnya Negeri Dwaraka ke dasar samudera, dan musnahnya bangsa Yadawa karena mereka saling membunuh dengan senjata gada ajaib.
17.  Mahaprashthanikaparwa (Buku Perjalanan Suci): menceritakan bagaimana Yudhistira meninggalkan takhta kerajaan dan menyerahkan singgasananya kepada Parikeshit, cucu Arjuna, dan bagaimana Pandawa melakukan perjalanan suci ke puncak Himalaya untuk menghadap Batara Indra.
18.  Swargarohanaparwa (Buku Naik ke Surga): menceritakan bagaimana Yudhistira, Bhima, Arjuna, Nakula, Sahadewa dan Draupadi sampai di pintu gerbang surga, dan bagaimana ujian serta cobaan terakhir harus dihadapi Yudhistira sebelum ia memasuki surga.

Dilihat dari segi kesusastraan, epos Mahabharata memiliki sifat-sifat dramatis. Tokoh-tokohnya seolah-olah nyata karena perwatakan mereka digambarkan dengan sangat hidup, konflik antara aksi dan reaksi yang berkelanjutan akhirnya selalu mencapai penyelesaian dalam bentuk kebajikan yang harmonis. Nafsu melawan nafsu merupakan kritik terhadap hidup, kebiasaan, tatacara dan citacita yang berubah-ubah. Dasar-dasar moral, kewajiban dan kebenaran disampaikan secara tegas dan jelas dalam buku ini. Menurut Mahatma Gandhi, konflik abadi yang ada dalam jiwa kita diuraikan dan dicontohkan dengan sangat jelas dan membuat kita berpikir bahwa semua tindakan yang dilukiskan di dalam Mahabharata seolaholah benar-benar dilakukan oleh manusia.
Pentingnya epos Mahabharata dapat kita ketahui dari peranan yang telah dimainkannya dalam kehidupan manusia. Lima belas abad lamanya Mahabharata memainkan peranannya dan dalam bentuknya yang sekarang epos ini menyediakan kata-kata mutiara untuk persembahyangan dan meditasi; untuk drama dan hiburan; untuk sumber inspirasi penciptaan lukisan dan nyanyian, menyediakan imajinasi puitis untuk petuah-petuah dan impian-impian, dan menyajikan suatu pola kehidupan bagi manusia yang mendiami negeri-negeri yang terbentang dari Lembah Kashmir sampai Pulau Bali di negeri tropis.
Dalam kepercayaan Hindu, epos Mahabharata juga dikenal sebagai Weda yang kelima (pertama = Regweda, kedua = Samaweda, ketiga = Yayurweda, dan keempat = Atharwaweda), terutama karena memuat Bhagavadgita yang dipandang sebagai kitab suci oleh penganut agama Hindu. Ajaran-ajaran Bhisma kepada Pandawa yang termuat dalam Santiparwa dan Anusasanaparwa juga dianggap kitab suci.
Epos Mahabharata telah meletakkan doktrin dharma yang menyatakan bahwa kebenaran bukan hanya milik satu golongan dan bahwa ada banyak jalan serta cara untuk melihat atau mencapai kebenaran karena adanya toleransi. Epos Mahabharata mengajarkan bahwa kesejahteraan sosial harus ditujukan bagi seluruh dunia dan setiap orang harus berjuang untuk mewujudkannya tanpa mendahulukan kepentingan pribadi. Itulah dharma yang diungkapkan epos Mahabharata sebagai sumber kekayaan rohani atau dharmasastra.

1.2.1. Apa yang terjadi dalam cerita sabhaparva Mahabharata?
1.2.2. Ajaran apa saja yang terkandung dalam cerita sabhaparva Mahabharata?

1.3.1. Memahami cerita Sabhaparva Mahabharata!
1.3.2. Memaknai ajaran yang terkandung dalam cerita sabhaparva Mahabharata!





Kitab Sabhaparwa merupakan kitab kedua dari seri Astadasaparwa. Kitab Sabhaparwa menceritakan kisah para Korawa yang mencari akal untuk melenyapkan para Pandawa. Atas siasat licik Sangkuni, Duryodana mengajak para Pandawa main dadu. Taruhannya adalah harta, istana, kerajaan, prajurit, sampai diri mereka sendiri. Dalam permainan yang telah disetel dengan sedemikian rupa tersebut, para Pandawa kalah. Dalam kisah tersebut juga diceritakan bahwa Dropadi ingin ditelanjangi oleh Dursasana karena menolak untuk menyerahkan pakaiannya. Atas bantuan Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan. Pandawa yang sudah kalah wajib untuk menyerahkan segala hartanya, namun berkat pengampunan dari Dretarastra, para Pandawa mendapatkan kebebasannya kembali. Tetapi karena siasat Duryodana yang licik, perjudian dilakukan sekali lagi. Kali ini taruhannya adalah siapa yang kalah harus keluar dari kerajaannya dan mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun. Pada tahun yang ke-13, yang kalah harus hidup dalam penyamaran selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, yang kalah berhak kembali ke kerajaannya. Dalam pertandingan tersebut, para Pandawa kalah sehingga terpaksa mereka harus meinggalkan kerajaannya.


Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni.
Sangkuni berkata, “Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan”.
Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.

Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian.
Yudistira berkata, “Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan”. Setelah mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, “Maaf paduka Prabu. Saya kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?”
Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.
Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.

Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira.
Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.
Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, “Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?”, ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.
Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, “Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!”
Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, “Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami sampai lima orang?”
Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo’a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do’a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.

Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi.
Dretarastra berkata, “O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha”. Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.
Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.

2.3.1.      Nilai moral
Banyak uraian dalam sabhaparva yang mencerminkan bahwa nilai moral dari tokoh yang bernama dusasana itu, tidak memiliki moral yang tidak baik. Dalam kitab sarasamusccaya dijelaskan mengenai susila dalam sloka yang berbunyi “Tasmad wakkayacittaistu nacaredachubam narah chubhachubham hyacarati tasyanute phalam” yang artinya : “ oleh karena itu inilah yang harus diusahakan orang. Jangan biarkan kata-kata, laksana dan pikiran berbuat karma yang tidak baik sebab orang yang mengusahakan yang baik, baik yang diperolehnya. Jika jahat yang dilakukan, celaka yang diperolehnya. Seperti halnya yang dilakukan oleh para kaurawa saat perjudian, mempermalukan dewi drupadi secara kejam. Akan tetapi hasilnya akan ma mereka terima sesuai perbuatan mereka sendiri. Etika dan moral manusia seharusnya sesuai dengan ajaran agama dan sastra agama.
 Disamping itu menurut kitab Manawa Dharmasastra dikatakan dalam sloka bahwa “suksmabhyo pi prasangebhyah striyo raksya visesatah, dvayor hi kulayoh sokam avaheyur araksitah” artinya: wanita terutama harus dilindungi dari kecenderungan berbuat jahat, bagaimana sedih tampaknya, jika mereka tidak dijaga akan membawa penderitaan kepada kedua belah pihak keluarga. Hal inilah yang dialami panca pandawa, yang mempertaruhkan harta benda dan istrinya, sehingga seorang wanita itu dianggap menderita karena tidak mampu dilindungi oleh suaminya. Sudah sangat jelas bahwa seorang suami yang baik menurut manawa dharmasastra yakni seorang suami yang mampu melindungi istri dan menjaga martabat keluarganya secara utuh. Pada dasarnya perjudian merupakan hal yang bisa menyesatkan seseorang  hingga berpengaruh pada istri beserta keluarga. Apapun yang bersifat material tidak akan pernah kekal atau abadi, dapat pula menyebabkan penderitaan. Dalam manawa dharmasastra disebutkan melalui sloka mengenai hal perjudian “dyutam samahvayam caiva raja, rastrannivarayet, rajyanta karana vetau dvau dosau prtihvi ksitam.” Artinya perjudian dan bertaruh supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya; kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota. Menurut sloka tersebut benar adanya, ketika antara pandawa dan kaurawa berjudi, itulah sumber kehancuran seluruh wangsa barata. Pada dasarnya kita sebagai manusia memiliki sebuah pemahaman yang mendalam mengenai etika,moral serta ajaran sastra sehingga hal yang negatif tidak terjadi. Belajarlah darisastra dan sebisa mungkin mengaplikasikannya secara benar.
Didalam RgVeda X.34.13 dijelaskan melalui sloka “jaya tapyate kitavasya hina, mata purasya caratah kva svit. Mava bibhyad dhanam icchamanah anyesam astam upa naktameti” artinya : isteri seorang penjudi yang mengemabara mengalami penderitaan yang mendalam didalam kemelaratan dan ibu seorang putra yang berjudi semacam itu tetap dirundung derita. Dia yang dalam lilitan hutang dan dalam kekurangan uang, memasuki rumah orang-orang lainnya diam-diam dimalam hari. Analogi dari bunyi sloka tersebut adalah para pandava yang hingga mempertaruhkan istrinya, membuat semua kluarga dan istrinya mengalami penderitaan.

2.3.2. Nilai Keadilan dan Kepemimpinan
Pandawa, yang hanya memiliki kerajaan indraprasta tidak sebanding dengan apa yang dimiliki oleh para kaurawa,yakni kerajaan hastina pura ini mencerminkan ketidakadilan memperlakukan para pandawa. Kecurangan para kaurawa juga tercermin dalam bermain dadu, sehingga pandava telah ahbis mempertaruhkan segalanya. Dalam keadaan seperti ini drtarastra tidak mampu menghentikan dan mengambil tindakan, karena beliau tidak mampu menentang keinginan putranya yakni Duryodhana. Sebagai raja yang arif bijaksana, seharusnya mengambil cara-cara kepemimpinan menurut nitisastra. Seperti yang dicantumkan dalam reg Veda II. 6.2  yakni pemimpin adalah tempat kediaman keberanian dan kebijaksanaan. Itulah hakikatnmya pemimpin yang baik, serta bisa mengambil jalan tengah bagi kedua belah pihak yang mengalami permasalahan.

2.3.3. Nilai Ketuhanan
Nilai Ketuhanan yang dapat saya paparkan dari parva yang kedua ini, yakni  ketika kita mampu berpikir yang baik, berbuat yang baik, berbicara yang baik maka kita akan merasa dekat dengan ajaran dharma. Pandava ibarat manusia yang selalu menjalankan swadarmanya sebagai kstrya, dan mampu meredam amarah dalam ruang sabha (tempat perjudian). Mereka yang berjalan diatas garis darma akan mendapat perlindungan dari Tuhan. Dalam hal ini Tuhan yang selalu mendampingi pandawa adalah dalam wujud Sri Krsna. Begitu pula, draupadi yang setia memuja Tuhan, sehingga dia mendaptkan anugrah dari Tuhan, ketika pakaian draupadi dilucuti oleh Dussasana. Ini berarti apabila kita berserah diri dan memuja tuhan secara tulus dan iklas niscaya tuhan akan memberikan jalan saat kita menemui suatu masalah. Sebaliknya tokoh duryodhana yang terkesan serakah dan kejam, tidak akan pernah merasakan kebahagian dalam hidupnya, dia akan selalu dirundung kegelisahan. Sri Krsna merupakan Tuhan yang berada pada keadaan Saguna Brahman dalam wujud sebagai Avatara turun kedunia untuk menghancurkan segala bentuk adarma atau kejahatan didunia ini. Dalam sabhaparva ditekankan bahwa yang menonjol makna teologisnya adalah ketika draupadi mendapat anugrah dari Tuhan, sehingga ia bisa terselamatkan dari penghinaan para Kaurawa. Dapat disimpulkan bahwa siapapun yang mengamalkan darma,siapapun yang mengamalkan ilmu pengahuan yang luhur maka manusia akan mencapai Tuhan.

2.3.4.  Makna filosofis yang terkandung dalam sabhaparva
Dari uraian dalam sabhaparva diatas saya dapat mengkaji dari segi makna filosofisnya yakni ketika setiap orang tidak dapat mengendalikan sad ripu yang ada dalam dirinya, maka kekacauan terjadi dan menuju pada penderitaan panca pandava yang memmluk darma selalu dilindungi oleh Sri Krsna sebagai wujud Tuhan. Dalam hal ini Tuhan berwujud sebagai Avatara, selalu mengayomi, menjaga serta berpihak pada orang yang berlandaskan atas darma karena dengan darma kita mampu mendekatkan diri pada Tuhan dan akhirnyha mencapai pada Beliau. Kembali pada sad ripu, meskipun panca Pandava dipihak yang baik tetapi mereka adalah sosok manusia yang belum sepenuhnya bisa ,mengendalikan sad ripu sebab mereka menyetujui perjudian meskipun selalu kalah hingga mempertaruhkan Draupadi. Kajian filosofis yang dapat saya kemukakan  yakni Draupadi sebenarnya nerupakan perwujudan ibu pertiwi yang tidak boleh direndahkan dan dilecehkan oleh siapapun. Ketika dussasana melucuti pakaian Draupadi itu adalah bentuk penghinaan terbesar kepada ibu pertiwi. Draupadi yang dilindungi oleh darma tidak akan pernah kalah oleh adarma. Bentuk ajaran Rwa Bhineda pun sangat menonjol pada cerita ini, dimana baik dan buruk selalu berdampingan dalam kehidupan umat manusia.
Yudhisthira yang bijaksana merupakan cerminan bagi seorang pemimpin yang arif san bijaksana, mampu mengambil keputusan yang tepat dan adil sesuai dengan ajaran kepemimpinan dalam Veda yang disebut Nitisastra. Dalam kehidupan ini, mencerminkan bahwa semua telah diatur oleh Tuhan, kita sebagai manusia hanya mampu menjalani kehidupan ini, seperti halnya ajaran buddha bahwa kehidupan ini sesungguhnya adalah penderitaan. Iri dan dengki yang dimiliki oleh duryodhana akan membawa ia pada awidya atau kegelepan dalam hidupnya, pandava yang sangat menjunjung tinggi darma akan selalu disinari oleh kebaikan. Dan sang ibu pertiwi bagi pandava adalah dewi kunti dan dewi draupadi yang harus mereka hormati, bukan mempermalukannya seperti yang dilakukan oleh dusasana, adik doryodhana.




3.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipapakarkan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1.      Kajian filosofisnya yakni Draupadi sebenarnya merupakan perwujudan ibu pertiwi yang tidak boleh direndahkan dan dilecehkan oleh siapapun. Ketika dussasana melucuti pakaian Draupadi itu adalah bentuk penghinaan terbesar kepada ibu pertiwi. Draupadi yang dilindungi oleh darma tidak akan pernah kalah oleh adarma.
2.      Dalam sabhaparva ditekankan bahwa nilai yang terkandung yakni nilai ketuhanan. Nilai moral atau etika, keadilan dan pencerminan sifat-sifat atau karakter baik buruk seseorang. Sabhaparva terdiri dari dua kata yakni sabha dan parva, sabha merupakan ruang sidang , jadi dalam sabha parva ini ditekankan mengenai cerita tentang diruang perjudian sang pandava dan kaurawa yang bermain dadu.

1.      Berdasarkan simpulan di atas penulis berharap segenap orang yang membaca makalah yang sederhana ini dapat mengkritisi materi-materi yang tersaji. Penulis menyarankan pembaca mampu membaca referensi-referensi terkait permasalahan yang tersaji dalam makalah ini. Jika memang tulisan dalam makalah ini salah atau menyimpang dari koridor keilmuan yang berlaku, penulis sangat mengharapkan adanya masukan yang bersifat kontruktif.





Rachel.2011.”Pendahuluan”.https://anothermahabharata.wordpress.com/2011/04/25/pendahuluan/.Di akses pada tanggal 10 Januari 2017

Arifn, Ilham.2015.”Cerita Kedua Mahabharata Sabhaparwa Beserta Ringkasannya”.http://iel-ham99.blogspot.co.id/2015/03/cerita-kedua-mahabharata-sabhaparwa.html.Di akses pada tanggal 10 Januari 2017

Agus Ariadi, I Gede.2013.”Susastra Hindu Sabhaparva”.http://penamay.blogspot.co.id/2013/03/susastra-hindusabha-parva.html.Di akses pada tanggal 10 Januari 2017


S. Pendit, Nyoman.2003.Mahabharata.Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar